Sejarah Desa

         Bermula pada tahun 1674 / 1678 dimana merupakan tahun pergolakan kerajaan Mataram dibawah Raja Amangkurat I melawan Trunojoyo yang merupakan putra dari Adi Pati Madura. Adapun Amangkurat I disamping disamping sangat kejam pada rakyat, ia juga mejalin persahabatan sekaligus persekutuan dengan VOC Belanda. Hal ini jelas sangat berbeda dan bertentangan dengan cita-cita ayahnya yaitu Sultan Agung Hanyakro Kusuma yang menentang keras keberadaan VOC di bumi pertiwi ini.

         Pada tahun 1674, Trunojoyo mengadakan perlawanan terhadap Amangkurat I yang bersekutu oleh VOC.  Adapun dari pihak Trunojoyo, ia mendapat dukungan dari beberapa pihak di antaranya dari Raden Kajoran (Bagelen), Adi Pati Anom (putra Amangkurat I), Panemban Romo dari Giri, Macan Wulung dari Madura, dan pelaut Makassar yang bernama Karaeng Galengsong serta Monte Marano. Trunojoyo sempat berhasil menguasai Jawa Timur serta sebagian Jawa Tengah. Saat itu ibukota Mataram digempur Trunojoyo hingga Amangkurat I melarikan diri dan terbunuh dalam pelarian itu. Dengan wafatnya Amangkurat I, Adi Pati Anom (putra Amangkurat I) diangkat menjadi raja Mataram menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Amangkurat II.

      Setelah menjadi raja, Amangkurat II yang semula mendukung perjuangan Trunojoyo ternyata malah berbalik arah melawan Trunojoyo seperti yang dilakukan oleh ayahnya (dalam sumber utama yang digunakan untuk menulis sejarah ini tidak disebutkan lebih lanjut mengapa Amangkurat II yang awalnya mendukung Trunojoyo malah berbalik arah melawannya). Untuk menghadapi Trunojoyo sendiri Amangkurat II ternyata juga meminta bantuan VOC. Sebelum bantuan diberikan, VOC mengajukan usul perjanjian yang isinya adalah:

  1. Mataram harus menyerahkan pelabuhan Semarang kepada VOC.
  2. Mataram harus mengakui hak monopoli perdagangan VOC di wilayah Mataram.
  3. Mataram akan menanggung biaya perang.

Setelah usul perjanjian diterima dan ditandatangani oleh Amangkurat II, penyerangan terhadap pasukan Trunojoyo dilaksanakan VOC dengan mendatangkan bala bantuan dari Maluku dibawah pimpinan Kapten Yongker. Trunojoyo yang menghadapi gabungan prajurit Mataram dan tentara VOC merasa kuwalahan hingga mundur bersama sahabat dan prajuritnya, serta istrinya yang dengan setia ikut mendampingi perjuangan suaminya, kemudian sampailah di kaki gunung Kelud tepatnya di gunung Ngantang. Saat itu gunung Ngantang masih merupakan hutan lebat dengan di lereng sekitarnya yang belum banyak dijumpai desa melainkan hanya ada beberapa kelompok kecil penghuni yang ada di bawah bukit, kecuali desa yang berada di utara sungai Konto dengan penduduknya sudah terhitung banyak. Konon di wilayah itu dahulunya pernah berdiri sebuah Pemerintahan Tingkat Kadipaten yang dipimpin oleh seorang Adipati, dibawah naungan Kerajaan Kediri.

          Hal ini terbukti adanya peninggalan sejarah berupa batu tertulis, atau yang lebih dikenal dengan nama Prasasti Hantang yang ditemukan di tepi sungai Konto (kini disimpan di Museum Nasional) dan Prasasti Harinjing, serta adanya penemuan bangunan kuno (pertirtaan, kolam), peninggalan arca Budha, Hindu, Lingga Yoni, Lumpang, Kala di sekitar Dusun Joso, Sumberagung dan Dusun Keprabon, Kaumrejo, Ngantang.

       Di bukit Ngantang inilah Trunojoyo dengan laskarnya membangun pesanggrahan, sekaligus benteng pertahanan yang dipusatkan di relung batu besar (sekarang Selokurung). Disamping tempatnya strategis di atas ketinggian yang mana bisa mendapatkan jarak pandang yang luas dan jauh, Selokurung mampu menampung 1000 lebih orang untuk berteduh dari hujan ataupun teriknya matahari, serta di situ juga terdapat sumber air. Di bukit Ngantang ini pula Trunojoyo sempat kehilangan istri tercintanya yang lebih dikenal dengan nama Putri Kuning atau Kleting Kuning, yang dimakamkan di sebelah selatan dari pusat pertahanan dan bukit makam itu selanjutnya disebut Gunung Gading.

      Sebelum perang pecah di sekitar wilayah Mogal, Mulyorejo, Trunojoyo sempat berselisih paham dengan sahabatnya, putra Sultan Hasanudin Raja Goa, yang juga putra menantunya itu, yang ikut membantu perjuangannya yaitu Kraeng Galengsong. Percekokan itu hanya karena beda pendapat antara menyerah atau tidak. Sementara Trunojoyo tetap memilih melawan, menyusul gugurnya Kraeng Galengsong (dimakamkan di Desa Sumberagung) dan berlanjut dengan mundurnya Trunojoyo ke benteng pertahanan Selokurung.

       Tatkala Trunojoyo dikepung oleh pasukan gabungan Mataram dan Kompeni Belanda secara Tepung gelang, yakni dengan mengurung melingkari bukit tempat basis pertahanan lascar Trunojoyo, berikut Trunojoyo menjatuhkan perintah untuk melongsori dan menghujani batu pada lawan yang mulai menyerang. Akibatnya, musuh kalang kabut, lari tunggang langgang, dicerai berai dan banyak jatuh korban di pihak lawan. Hal ini membuat marah, panik, pusing dan mengharuskan Kompeni Belanda berfikir ulang untuk tidak mengulangi menyerang, sehingga ditemukanlah cara, taktik untuk menghadapi Trunojoyo dengan resiko kecil tidak meninggalkan korban yakni taktik perundingan.

       Kemudian Kumpeni Belanda memutuskan cara itu, dan selanjutnya mengirimkan kurir, utusan untuk menemui Trunojoyo yang maksud dan tujuannya menyampaikan titah Raja Mataram, Sultan Amangkurat II untuk mengundang Trunojoyo datang ke Keraton Mataram untuk mengadakan perundingan. Trunojoyo tidak keberatan dan menyetujui, namun sebelum berangkat ke Mataram ia meninggalkan pesan dan wasiat kepada seluruh laskar setianya di antaranya adalah:

  • Keberangkatannya ke Mataram bukan berarti ditangkap atau menyerah, itu semata-mata hanya memenuhi undangan ajakan damai Raja Amangkurat II untuk berunding. Ia tetap berjuang melawan Kumpeni Belanda sampai titik darah penghabisan hingga kompeni angkat kaki dari bumi Nusantara ini.
  • Prajuritnya diperintahkan untuk tidak melanjutkan perang, namun dipersilahkan babad hutan untuk tempat tinggal yang tetap, atau kembali ke keluarga agar hidup tentram.
  • Agar menyebarkan pengetahuannya kepada penduduk.

Selesai memberikan amanat berangkatlah Trunojoyo yang hanya diiringi atau dikawal beberapa prajurit. Trunojoyo tidak mengetahui bahwa itu hanya merupakan akal bulus tipu muslihat kompeni Belanda untuk menjebak Trunojoyo. Konon sesampainya di Keraton Mataram Trunojoyo dibunuh sendiri oleh Sultan Amangkurat II, saat itu tercatat tahun 1679.

      Sepeninggal Trunojoyo, prajurit banyak yang turun gunung mencari daerah baru sesuai dengan amanah gustinya. Ada yang pulang mencari keluarganya, ada yang membabat hutan dan bergabung dengan penduduk sekitarnya yang sudah ada seperti halnya yang terjadi di desa Kwatu (sekarang Waturejo). Namun desa Kwatu diperkenalkan oleh mantan prajurit Trunojoyo yang bertempat tinggal di situ untuk mengenang peristiwa hutan batu dari atas bukit saat pasukan gabungan Mataram dan kompeni menyerang. Sedangkan nama Selokurung diambil saat batu raksasa itu menjadi benteng pertahanan Trunojoyo yang dikepung, dikurung oleh musuh. Sejak saat itu kedua nama itu menjadi popular, di samping itu jugs masih ada nama lain lagi yaitu Ngesong, di mana prajurit Trunojoyo pernah membuat terowongan (Ngesong) guna pertahanan.

        Desa baru yang diberi nama Watu (oleh penduduk karena dialek lama-lama menjadi Kwatu), yang sebagian besar mantan laskar Trunojoyo itu, akhirnya menjadi besar dan ramai, meski Kwatu sebelumnya sudah ada penduduknya. Bahkan penduduk lama tersebut banyak yang memeluk agama Hindu, terbukti dari adanya peninggalan dan situs di Kwatu Punden Krapyak. Hal ini ternyata tidak menjadi kendala, bahkan mereka bisa hidup rukun, saling tukar menukar budaya pengalaman, hingga terjadilah asimilasi adat dan budaya.

          Desa-desa yang masuk dalam lingkup Kuwatu, ialah dusun Watukidul, yang memiliki sosok pemuka desa yang bernama Ki Buyut Kadalan atau yang biasa dikenal dengan sebutan Mbah Kadalan. Hal ini disebabkan karena Mbah Kadalan yang merupakan mantan tokoh Trunojoyo ini sering berjalan dengan cara merangkak atau melatu seperti hewan kadal (sejenis reptil) saat turun ataupun naik ke desa guna menghindari pengamatan musuh. Setelah itu beliau meninggal dan di makamkan di dekat pohon Rondo Kawak dan selanjutnya menjadi Punden Kadalan atau Rondo Kawak.

         Sedangkan di kawasan Watulor, sosok yang menjadi pembuka dusun ialah Ki Buyut Saepo atau Ki Suro Dipo dengan dibantu oleh Mbah Bandang. Keduanya ini juga menjadi tokoh laskar Trunojoyo. Mbah Saepo yang sering mengajarkan berbagai ilmu pada penduduk setempat dan di kenal juga dengan sebutan Mbah Guru. Oleh karena itu makam beliau dikenal dengan sebutan Pundan Mbah Guru. Sementara untuk kawasan Sumbergondo, yang menjadi leluhur cikal bakalnya ialah Ki Buyut Tirtomojo dari Wonomerto, Jombang, dan Mbah Malam dari Jatus Ngantang. Konon saat membuat sumur guna berbagai keperluan kedapatan sumber airnya berbau amis. Oleh karena itu, kawasan tersebut diberi nama Sumbergondo. Hal itu yang menjadi alasan tidak adanya penduduk yang membuat sumur di rumah. Pada akhirnya, dari tahun ke tahun jumlah penduduk yang dimiliki oleh dusun-dusun tersebut mengalami peningkatan hingga kurang lebihnya pada tahun 1721 muncullah sosok tokoh masyarakat yang dikenal dengan nama Ki Ageng Proyonggolo yang juga merupakan sosok petinggi di Watukidul. Sejak saat itulah setiap desa mendirikan petinggi semacam lurah. Di antaranya ialah:

            Desa Watu Kidul:

  1. Ki Ageng Proyonggolo I   (1721 – 1767)
  2. Ki Ageng Proyonggolo II  (1767 – 1812)
  3. Ki Demang Sotruno         (1812 – 1855)
  4. Ki Demang Towidjoyo     (1855 – 1895)
  5. Ki Demang Kasan Rejo    (1895 – 1923)

            Desa Watu Lor:

  1. Ki Buyut Ponco                (1853 – 1872)
  2. Ki Buyut Iban                   (1872 – 1898)
  3. Ki Lurah Kamidin             (1898 – 1923)

            Desa Sumber Gondo:

  1. Ki Buyut Rontiko              (1849 – 1872)
  2. Ki Buyut Talim                 (1872 - 1881)
  3. Ki Buyut Wongso Truno   (1881 – 1892)
  4. Ki Lurah Mangun Setro    (1892 – 1909)
  5. Ki Lurah Ronorejo           (1909 – 1923)

            Kemudian pada tahun 1923, ketiga desa tersebut digabungkan menjadi satu dan diberi nama desa Waturejo. Pusat pemerintahannya di Dusun untuk Kidul dan yang menjadi kepala desa ialah Ki Demang (Aris) Karso Dirdjo. Pada era kepemimpinan Demang Karso Dirjo rakyat desa Waturejo pernah mengalami kerja paksa kurang lebih pada tahun 1925 yakni tepatnya pada saat pembuatan terowongan air sungai Konto guna menjadi Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) mendalan. Begitu juga pada saat terjadi peperangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada saat agresi Belanda II. Rakyat desa Waturejo tidak ketinggalan dalam keikutsertaan dan ikut berperan aktif dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Hal itu dibuktikan bahwa desa Waturejo menjadi basis dan markas tantara gerilya.

            Pasukan pejuang Indonesia yang pernah bermarkas di desa Waturejo adalah pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Dr. Mustopo, Sumadi, bahkan pada saat divisi I Batalion Merak yang di pimpin oleh Sunandar Priyo Sudarmo dan Divisi VII Batalion Naga Hitam yang di pimpin oleh Abdul Manan yang bermarkas di wilayah Ngantang menjadikan desa Waturejo sebagai Lumbung cadangan pangan. Dikarenakan seringnya kediaman Demang Karsodirdjo dijadikan sebagai tempat pertemuan oleh para pemimpin pejuang bahkan menjadi pusat komando para tantara tersebut. Pada akhirnya rumah tersebut dibakar dan di bumihanguskan oleh Belanda. Pada akhirnya, karena adanya kebesaran Tuhan Yang Maha kuasa serta berkat pusaka Piandel turun Temurun yakni keris Kyai Sangkat dan pedang Kyai Junjung Luwuk, kediaman tersebut tidak habis terbakar melainkan hanya dapurnya saja yang hangus. Selanjutnya yang menjabat menjadi kepala desa Waturejo sejak tahun 1923 hingga saat ini ialah:

  1. Ki Demang (Aris) Karsodirdjo      (1923 – 1946)
  2. Ki Lurah Kemat (Sumiadi)            (1946 – 1949)
  3. Lurah Kartodjo                            (1949 – 1968)

            Pada tahun 1967 partai komunis Indonesia dibubarkan oleh pemerintah dan resmi dinyatakan dilarang. Secara tidak langsung Mbah Kartodjo terlibat dalam hal tersebut. Sebab itu jabatannya sebagai kepala desa dicabut. Tak lama setelah itu, Kamituwo Kandar ditunjuk sebagai pejabat kepala desa sementara sampai pada akhir tahun 1969.  Berikutnya atas dasar dari SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Malang tanggal 26 Mei 1969 Nomor: PU/51/13Des/1969 pembantu letnan satu, A. Moeloedi di tugaskan menjadi Carteker kepala desa Waturejo sejak 26 Mei 1969 – 1973. Kepala desa berikutnya dipilih melalui pemilihan yang dilaksanakan oleh warga Desa dan terpilihlah Soetopo karyo Utomo menjadi kepala desa waturejo pada tahun 1973 – 1981 dan budaya pemilihan tersebut terus berjalan hingga saat ini. Berikut adalah naman ama dari kepala desa yang menjabat hingga saat ini:

  1. A. Moeloedi                                        (1969 – 1973)
  2. Soetopo Karyo Utomo                         (1973 – 1981)
  3. Supahar Kartodjoyo Leksono               (1981 – 1991)
  4. Tamsi                                                 (1991 – 1996)
  5. Sanaji (PJ)                                            (1997 – 1998)
  6. Sanaji                                                  (1998 – 2003)
  7. Suroso Karyo Utomo                            (2004 – 2021)
  8. Kusman Hadi                                       (2021 - sekarang)

 

Demikian adalah sejarah desa Waturejo yang disusun dan ditulis berdasarkan sumber sejarah diantaranya saksi yang masih hidup, prasasti hantang, serat raja Putra Ngayobiokarto Hadiningrat oleh KRT mandoyo Kusumo tahun 1975. Apabila terdapat yang menghendaki untuk mengutip sejarah desa Waturejo ini, maka diharuskan untuk meminta izin terlebih dahulu ke pihak perangkat desa Waturejo.